Selasa,
18 Januari 2011 Kh. Muhammad Khollil Bangkalan Al Madury.: Kh. Muhammad kholil
merupakan seorang ulama yang kharismatik sampai sekarang, khususnya kaum
santri, pasti mengenal nama Asy-Syekh Muhammad Kholil yang oleh kebanyakan
orang lebih dikenal dengan sebutan “Syaikona Kholil Bangkalan”. Dalam
paket-paket ziarah makam-makam wali Madura, makam Syekh Kholil termasuk tiga
“makam besar” yang pasti masuk dalam program, selain Makam Syekh Batu Ampar
Pamekasan dan Syekh Yusuf Sumenep. Mengingat nasab Syekh Kholil yang bersambung
pada Al-Husain bin Fathimah binti Rasulillah SAW, maka saya rasa akan lebih
mengasyikkan kalau kita membicarakan tentang dua hal yang berkaitan dengan
Syekh Kholil sebagai cucu Rasulullah SAW. Pertama, bahwa Syekh Kholil dan cucu-cucu
Rasulullah lainnya -yang memiliki nasab jelas- membuktikan kebenaran janji
Allah untuk meberi keturunan yang banyak kepada Rasulullah SAW. Kedua, bahwa
Rasulullah SAW tidak hanya cukup bangga dengan jumlah keturunan yang banyak,
melainkan beliau akan lebih bangga karena ternyata banyak sekali dari keturunan
beliau yang menjadi orang berprestasi. Tentang dua hal ini, sebenarnya saya
telah menulisnya dalam buku saya yang berjudul “Dari Kanjeng Nabi Sampai
Kanjeng Sunan”. KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jama dilahir 1235 Hijrah
atau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan
Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari
keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa
beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya
menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur
di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke
Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke
Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau
belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari
Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian
keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal
beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping
itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Belia mampu membaca alqur’an dalam
Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran). KH. Muhammad Kholil Bangkalan
Madura. Pada 1276 Hijrah/1859 Masihi, KH. Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di
Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru
Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman
bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin
Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani i.
Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan
Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Kh.Muhammad Kholil
Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasym Asy’ari,Kh.Wahab Hasbullah
dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru
sesama Rekannya, Dan Kh.Muhammad Kholil yang Dituakan dan dimuliakan diantara
mereka. Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,
Kh.Muhammad Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang
diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham
antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil
al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan
huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam
bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi
yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu. KH. Kholil adalah guru utama yang
mencetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah
meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Kholil.
Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini.
Salahsatunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau. Seperti pernah
dikisahkan KH Anwar Siradj, pe-ngasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat
mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulit-an. Padahal, kitab yang
berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami
kitab-kitab lain. Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di
hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti
dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat
petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Mbah Kholil. Petunjuk gaib itu
pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil
Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar
bisa menghafal alfiyah,” jelas Ustadz Salim. Banyak ulama generasi sekarang
yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah
Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah
guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin. MBAH
Kholil sempat menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan
KH Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad
Dahlan. Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi
nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di
antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu
sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru. Menurut KH Muhammad Ghozi
Wahib, Mbah Kholil paling dituakan dan dikeramatkan di antara para ulama saat
itu. Kekeramatan Mbah Kholil selain menguasai seluruh asma rajeh beliau juga
yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. ”Dalam situasi kritis, beliau
bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau
perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November
1945 di Surabaya,” katanya. Kiai Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10
November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim
Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua
kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki,
dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern.
Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan
menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau
konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di
saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar. Saat konsentrasi
lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti,
dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya
super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu,
tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa
berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat
beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu
yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita
Ghozi. Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan
apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab
setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan
terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah
Kholil. ”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian,
Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang
perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai
laut dan membantu si nelayan itu,” papar Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani
Ngemplak Sleman ini. Kiyai Muhammad Kholil cukup lama belajar di beberapa
pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau
terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk
mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad
Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1
kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Kh. Muhammad Khalil al-Maduri
adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan
maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sedar benar bahwa pada
zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak
seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura
seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah
itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari
Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan
diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda
di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil sendiri pernah
ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang
terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun
tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad
Khalil al-Maduri . Kh.Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah
Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah
dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan
tentara Sekutu. Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk
menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau
jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak
besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan
mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang,
konsentrasi lawan buyar. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita
gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita
bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran
ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar
Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini. Kesaktian lain dari Mbah Kholil,
adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam
waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren.
Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata.
”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi. Para santri
heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung
ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan
kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih,
karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah
Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang
perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai
laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di
Wedomartani Ngemplak Sleman ini. di antara sekian banyak murid Kh Muhammad
Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan
bangsa Indonesia ialah Kh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng,
Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah
(pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri
(pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri
Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai
Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kiyai Haji As’ad
Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo). Kh. Muhammad
Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341
Hijrah/14 Mei 1923 Masehi. Beliau dimakamkan di Bangkalan - Masjid di komplek
Makam Syaikhona Cholil Bangkalan Madura Jawa Timur yang dahulunya berupa sebuah
Musholla kecil memang tidak pernah digunakan untuk Sholat Idul Fitri maupun
Sholat Idul Adha. Bahkan, untuk Sholat Jum'at juga tid...ak. Musholla tersebut
hanya menggelar Sholat berjamaah lima waktu. Itu pun, hanya digunakan oleh
mayoritas para peziarah yang hendak berkunjung ke makam Syaichona Kholil.
namun, pada perayaan hari Raya Idul Fitri kemarin, adalah pertama kalinya di
kompleks Masjid Jamik Syaichona Kholil digunakan untuk Sholat Idul Fitri.
Pelaksanaan Sholat Idul Fitri dimulai sekitar pukul 06.30. Bupati Bangkalan
yang merupakan keturunan Syaichona Cholil, RKH Fuad Amin dan istrinya Siti
Masnuri Fuad beserta empat putrinya tampak terlihat dalam kerumunan jamaah
lainnya. Sholat Idul Fitri dipimpin KH Moch. Faisol Anwar, pengasuh Pondok
pesantran An-Nuroniyah Demangan Timur, Bangkalan. Sementara itu, bertindak
sebagai Khotib Idul Fitri adalah KH Muhammad Faisol Anwar. KH Faisol mengajak
agar umat muslim kembali ke fitrah seusai menjalankan ibadah puasa selama 30
hari lamanya. Dalam kesempatan tersebut, Bupati Fuad Amin juga menyampaikan
sambutan. Fuad mengaku cukup senang akhirnya proses renovasi masjid Syaichona
Moch. Kholil hampir sempurna. "Kami juga berharap agar sholat Jum'at sudah
bisa dilakukan di sini," pintanya. Bupati juga langsung mengajak seluruh
jamaah beramah-tamah. Tampak berbagai jemaah dari beragam golongan saling
bersalaman dan berpelukan memberi dan meminta maaf. Mereka juga langsung
menyantap masakan yang sudah disiapkan panitia di sekitar areal masjid. Sekian.
Sumber : http://muslim-lspm.blogspot.com SAHABAT MUSLIM -
LEMBAGA SPIRITUAL PENGABDIAN MASYARAKAT 2010. Diberdayakan oleh Blogger.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar